Tahun 1974, Heroin Sudah Masuk Jakarta

(Tabloid UNGKAP Edisi 07 – Februari 2012).
Narkoba di Indonesia bukan barang baru. Polisi pertama kali mengungkap keberadaan heroin seberat 1 Kg pada tahun 1974. Inilah kisahnya.
Kamar Hotel Indonesia 332 itu tertutup rapat. Nyaris tak terlihat tanda-tanda kehidupan. Lorong diselasar pun tampak sepi. Hanya sesekali tampak penghuni dan petugas hotel melintas. Maklumlah, semua penghuni hotel mengutamakan kenyamanan dan ketenangan. Mereka membutuhkan privacy, seperti yang ditawarkan pihak hotel.

Jarum jam sudah menunjukan pukul 15.00 Wib. Matahari Jakarta masih bersinar terang dan lalu lintas masih lengang. Di kamar itu, dua orang pria bercakap-cakap saat pintu diketuk dari luar. Saat pintu terbuka, nampak dua orang yang lama ditunggu muncul membawa satu koper coklat. Setelah basa-basi sebentar seraya menawarkan minuman, tamu itu masuk pada tujuan pertemuan.
“Barangnya dibawa?” katanya. “Ada,” jawab dua orang itu sambil mengeluarkan jam dinding.
Itu bukan sembarang jam dinding. Salah satu dari pemilik jam dinding membuka bagian belakang jam, lalu mengeluarkan kotak yang dibungkus kertas berwarna coklat. “Ini barangnya. Beratnya 1 kg,” katanya sambil menimbang-nimbang di depan tamunya. Tertera angka 999 diatas bungkusan itu yang segera dimasukan (disembunyikan) saat room service datang.
“Harganya tiga juta,” kepada tamu setelah room service keluar. “Kalau bisa jangan segitu, dikurangilah,” kata sang tamu.
Saat tawar menawar dilakukan pintu kamar didobrak dari luar. Tiga orang pria yang mengaku polisi dari Komando Daerah Kota atau Komdak VII Jaya (sekarang Polda Metro Jaya) menodongkan pistol. Keempatnya tak bereaksi saat bungkusan coklat itu dirampas. Polisi mencurigai keempatnya sedang melakukan transaksi narkoba jenis heroin.
“Waktu itu kami sempat was-was barang itu bukan heroin,” kata Brigjen Pol (Purn) H. Ashar Suryobroto, M.Si saat itu berpangkat Kapten (kini Ajun Komisaris Polisi).
Setelah dilakukan pemeriksaan di laboratorium, terbukti heroin kualitas terbaik. Tersangka lalu diserahkan ke Komdak VII Jaya untuk proses lebih lanjut.
Ini adalah sepenggal kisah pengungkapan heroin di Hotel Indonesia pada Juli 1974 seperti dituturkan Brigjen Pol (purn) Ashar Suryobroto. “Kami menggunakan teknik under cover buy,” ujarnya.
Bersama dua perwira menengah dari Komdak, Kapten Pol Thalib Husein dan Kapten Pol Eko Suwarno, saat itu menjabat Kepala Sub-seksi Narkotika Komdak. Kapten Pol Ashar Suryobroto adalah Komandan Badan Keamanan Hotel Indonesia. Satu orang lagi dari seksi narkotika. “Waktu itu ada informasi tentang masuknya 1 kg heroin, karena itu saya coba giring penjualnya untuk transaksi di Hotel Indonesia,” kenang Ashar.
Digunakannya Hotel Indonesia sebagai tempat transaksi karena hotel ini merupakan hotel terbesar di Jakarta, saat itu. “Transaksi heroin 1 kg pasti dengan harga mahal karena itu tempatnya juga harus bonafide supaya penjual tidak curiga,” tuturnya mengenang.
Penungkapan itu merupakan rekayasa untuk menjebak penjual. Pembelinya adalah polisi yang menyamar, Letnan Satu (kini Inspektur Satu) Amsar Adam bersama Yakub Rumahlaeselan, anggota keamanan Hotel Indonesia. “Room service juga petugas hotel yang sudah dilatih singkat,” kata Ashar.
Seorang yang sejak awal menemani penjual juga petugas hotel ngaku dari Hongkong dan diberi “kursus” singkat. “Dia petugas Hotel Indonesia yang berwajah Tionghoa jadi cocok sekali,” kata Ashar.
Masuknya polisi, ditentukan berdasarkan kode dari room service. Sementara room service mendapatkan kode dari polisi yang menyamar menjadi pembeli. “Kalau pembeli menjatuhkan korek api, barang sudah diperlihatkan. Waktu itu kan belum ada handphone,” kenangnya.
Tugas Kapten Ashar, bukan secara khusus menangani narkoba. Oleh Kapolri, Ashar ditempatkan sebagai Kepala Badan Keamanan alias chief security, yang sejajar dengan kepala departemen dan setingkat Polsek.
Tugasnya melakukan pengama- nan terhadap hotel, tidak saja kepada tamu hotel tetapi juga kepada petugas hotel. Tugas itu, meneruskan tugas seniornya, Mayor (kini Komisaris Polisi) Banurusman Astrosoemitro (mantan Kapolri).
Saat itu, hotel di Jakarta masih sedikit. Polri menjalin kerjasama dengan Perhimpunan Hotel Republik Indonesia (PHRI). Pengamanan terhadap hotel baik dari luar maupun dari dalam mendorong terlaksananya kerjasama tersebut.
Juga saat itu belum ada UU Narkotika. Kekuatan hukum hanya berdasarkan Inpres No 6 Tahun 1971 tentang peredaran dan penggunaan uang palsu, penggunaan narkotika, dan sebagainya. Penanganannya juga masih berada di bawah Badan Keamanan dan Intelejen Negara (BAKIN). “Itupun berada dibawah Bidang Sosial dan Politik,” lanjutnya.
Hasil analisis penangkapan itu, Indonesia digunakan menjadi negara transit. Heroin yang masuk berasal dari golden triangle di segitiga antara Thailand, Burma, dan Laos yang dikirim kembali ke negara-negara lain. Konsumen di Indonesia sendiri masih seputar turis yang datang dari luar negeri.
Penangkapan itu, menurut Ashar, menjadi sirine darurat peredaran narkotika. Hal ini mencoreng wajah Indonesia yang sedang gencar meng- kampanyekan Sapta Pesona. Sebuah promosi untuk menggalakan wisata di Indonesia ketika itu. Pengungkapan 1 kg heroin tahun 1974 itu bisa dikatakan menjadi pengungkapan besar pertama di Indonesia.
Analisis ini kemudian terbukti. Beberapa tahun setelah pengungkapan ini, polisi kembali berhasil mengungkap 6 Kg heroin di akhir tahun 1970an dan
datang dari lokasi yang sama di golden triangle. “Waktu itu dipimpin oleh Nana Permana,” kata Ashar.
Dugaan sindikat hendak melibatkan Indonesia terbukti kembali pada tahun berikutnya. Tahun 1998, Indonesia sudah tidak lagi sebagai negara transit, tapi sebagai negara tujuan. Dan sejak tahun 2000 terindikasi sebagai negara produsen.
Menurutnya, merasuknya narkoba bagi kalangan masyarakat di Indonesia melalui trend dan gaya hidup. Seolah gaya hidup menggunakan narkotika menjadi acuan untuk menampilkan diri ditengah khalayak.
Akhirnya ini meningkatkan permintaan narkoba berbagai jenis. Ada demand yang memadai bagi bisnis narkoba dan ditunjang dengan suplai yang tidak kalah memadainya. “Narkoba mudah masuk ke Indonesia,” kata Ashar.
Dia menenggarai ada grand design yang juga dibuat musuh-musuh ekonomi Indonesia. Targetnya membuat lemah bangsa ini. Besarnya negeri ini ditambah kekayaan yang melimpah, dan jumlah penduduk yang besar menjadi momok bagi negara- negara tetangga. “Karena itu, oleh mereka, Indonesia tidak boleh pintar dan kuat. Ada indikasi kita dilemahkan,” paparnya. (Lui)

Tinggalkan komentar